Minggu, 21 Agustus 2011

Analisis Sandiwara “ seniman pengkhianat “ Periode 1942-1945

A.    Analisis Sandiwara “ seniman pengkhianat “ karya

 “Orang-orang yang sudah menjual jiwa dan kehormatannya kepada fasis Jepang disingkirkan dari pimpinan revolusi kita (orang-orang yang pernah bekerja di propaganda polisi rahasia Jepang, umumnya di dalam usaha kolone 5 Jepang). Orang-orang ini harus dianggap sebagai pengkhianat perjuangan dan harus diperbedakan dari kaum buruh biasa yang bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.” (Perjuangan Kita, oleh Sjahrir, h. 24).
X : “Belum juga dia datang. Janjinya pukul sebelas. Sekarang sudah lewat setengah jam.”
Y : “Ah, dia banyak urusannya barang kali. Sandiwara sangat maju.”
X : “Itu dia! Manuskripku sekarang ada padanya.”
Y : “Manuskrip yang mana?”
X : “Sandiwara 4 babak, Kesuma Negara.”
Y : “Oh, yang baru lagi?”
X : “Ya, abis? Kemauan zaman. Kita mesti turut zaman, bukan?”
Y : “Aku heran melihat engkau. Apa saja acaranya, engkau membuatnya menjadi sajak, cerita pendek, sandiwara, dan sebagainya.”
X : “Apa susahnya. Bikin saja, asal u sama u, a sama a, b sama b, sudah beres. Bikin cerita pendek syaratnya asal jangan lupa: menghancurkan musuh, musuh jahanam, musuh biadab; kemenangan tinggal tunggu hari lagi. Pihak kita: kesayangan Tuhan, Tuhan telah menjanjikan kita kemenangan dan sebagainya yang muluk-muluk, yang jelek-jelek pada pihak lawan.”
Y : “Kuheran. Engkau dapat menulis demikian.”
X : “Mengapa heran? Engkau juga bisa, kalau engkau mau.”
Y : “Biarpun aku mau, aku tidak bisa.”
X : “Bohong! (berbisik). Mengapa engkau begini bodoh? (sambil menunjuk ke sepatu Y). Lihat! Sepatumu sudah ternganganganga.
Bajumu telah berjerumat. Kalau engkau mau… kantor kami senantiasa akan menerima engkau.”
Y : “Kerjaku menjadi apa?”
X : “Biasa. Seperti aku sekarang. Sekali-sekali ada bestelan sajak, atau cerita pendek, atau sandiwara, atau lelucon.”
Y : “Lantas kalau ada bestelen, engkau yang bikin?”
X : “Mau apa lagi?”
Y : “Engkau bisa tulis?”
X : “Bisa.”
Y : “Wah! Engkau ini orang aneh. Misalkan, pemerintah memerlukan rambutan untuk santapan serdadunya. Lantas dia menginginkan rambutan yang itu, temponya tiga hari, engkau bisa bikin?”
X : “Gampang, tiga hari terlalu lama. Pukul sebelas dibestel jam dua belas sharp, tanggung siap.”
Y : “Tapi engkau toh mengerti, bahwa pekerjaan yang demikian tidak ada jiwanya?”
X : “Jiwa? Perlu apa jiwa sekarang? Jiwa diobral di medan perang.
Hanya engkau yang meributkan perkara jiwa.”
Y : “Bukan demikian. Padaku sesuatu itu mesti ada ‘aku’-ku di dalamnya. Kalau tidak, aku tidak puas.”
X : “Kalau sekarang engkau hendak memasukkan ‘aku’–mu ke dalam suatu pekerjaan, nanti engkau akan mendapat panggilan dari Gambir Barat1.
Y : “Oleh karena itulah, engkau tidak bisa menulis seperti kehendakmu itu.”
X : “Bung! Aku bilang saja terus terang.
Gerak gerikmu sekarang diamat-amati oleh Gambir Barat.”
Y : “Aku sudah tahu lama. Tapi itu aku tidak ambil perduli.”
X : “Engkau harus hati-hati. Omonganmu jangan terlalu lancang.”
Y : “Aku tahu. Aku lemah. Aku tidak punya karaben. Tapi, kalau aku disuruhnya menulis-menulis, seperti yang engkau laksanakan, lebih baik aku makan tanah.”
X : “Apa hinanya? Dia kuanggap majikan, aku buruh. Aku makan gaji. Apa yang dia suruh, toh aku mesti bikin?”
Y : “Engkau mesti ingat. Engkau bukan buruh biasa. Engkau seorang seniman.”
X : “Tidak! Aku tidak pernah bilang aku seorang seniman. Aku orang biasa. Namaku X.”
Y : “Tapi pekerjaanmu? Pekerjaanmu mempropaganda ini itu kepada rakyat.”
X : “Rakyat toh mesti diberi penerangan?”
Y : “Betul! Tapi bukan penerangan yang menjerumuskan itu, kalau engkau bikin propaganda tentang laut, misalnya.”
X : “Aku tidak tahu.”
Y : “Memang. Engkau tidak tahu. Tapi mereka, anak-anak muda yang terpedaya oleh ajak, atau cerita pendek, atau sandiwaramu tentang laut, apa engkau bisa tanggung?”
X : “Mereka mesti tahu sendiri.”
“Sobat! Engkau bangsa apa?”
X : “Aku bangsa Indonesia.”
Y : “Tulen?”
X : “Tulen!”
Y : “Tidak ada campuran?”
X : “Tidak! Ibu bapak 100% bangsa Indonesia.”
Y : “Kalau begitu aku tidak tahu, mengapa engkau mau menggali kubur untuk bangsamu sendiri.”
X : “Aku tidak menggali kubur. Aku makan gaji.”
Y : “Tapi gajimu berlumuran darah bangsamu sendiri.”
X : “Tidak dengan pekerjaanku, bangsa kita toh sudah berlumuran darah.”
Y : “Jadi engkau hendak menambahnya lagi?”
X : “Pekerjaanku ini seperti titik dalam lautan. Tidakkan menambah dan tidak akan mengurangi.”
Y : “Oleh sebab itu, engkau kerjakan?”
X : “Mengapa aku saja yang engkau terkam?”
Y : “Karena aku anggap engkau wakil dari gerombolanmu.”
X : “Bukan golonganku saja yang diperbudak. Semua golongan, tidak ada terkecualinya.”
Y : “Aku juga tahu. Yang menjerit-jerit berteriak-teriak di lapangan besar, seperti orang edan, juga bangsa kita. Juga tukang tipu rakyat.”
X : “Nah. Itu dia. Jadi bukan aku saja.”
Y : “Itu bukan alasan untuk melakukan pekerjaanmu seperti sekarang ini.”
X : “Lantas maumu aku mesti makan angin?”
Y : “Bukan. Engkau dapat bekerja di lapangan lain. Pendidikanmu cukup.”
X : “Maaf. Tapi aku tidak dapat hidup seperti engkau.”
Y : “Engkau mempunyai cita-cita?”
X : “Penuh.”
Y : “Cita-citamu akan dapat menahan segala deritaan.”
X : “Aku tidak bisa. Tinggal di gubuk rebeh seperti engkau, maaf saja. Aku biasa tinggak di Laan. Baju mesti saban hari ganti, sepatu mesti necis, jangan sampai ternganga. Jajan tidak bisa di pinggir jalan, nongkrong seperti engkau. Aku bisa duduk di Oen.”
Y : “Tapi jangan anggap, buah penamu telah kercap seni. Di luar kantomu ini, masih banyak pemuda-pemuda yang benar-benar berdarah seni, 100% lebih bersih dari darahmu. Mereka sekarang gelisah menanti akhirnya penindasan ini. Tapi dalam sementara itu, mereka menangis melihat kelakuan gerombolanmu yang melontekan diri sebagai alat propaganda.”
X : “Engkau cemburu melihat kedudukanku sekarang ini. Itu sebabnya engkau caci-caci aku.”
Y : “Aku tidak ingin kedudukanmu. Aku tidak ingin menjadi beo.
Aku tidak ingin menjadi ekor. Aku tidak ingin menjadi lonte seperti engkau.”
X : “Kalau tidak ingin, engkau boleh tutup mulutmu.”
Y : “Aku tidak akan menutup mulutku.Aku akan meneriak-neriakkan pengkhianatanmu terhadap bangsamu sendiri, yang engkau jadikan mangsa kebengisan tokehmu dan yang engkau coba meliputinya dengan tulisan-tulisanmu, untuk kepentingan kantongmu sendiri. Seandainya leherku yang kurus ini engkau suruh penggal pada tokehmu, aku akan terus berteriak: meneriakkan pengkhianatanmu selama ini!”
Analisis intrinsik
1.      Alur
Dalam  drama  “SENIMAN  PENGHIANAT”  ini  alur  yang  dipakai  oleh pengarang adalah alur yang lazim digunakan dalam drama yakni alur maju. Ini terdapat dalam sebagian besar drama. Mungkin hanya sebagian kecil saja drama yang memiliki alur berbeda. Hal ini dimaksudkan agar dalam mementaskan drama tidak perlu  lagi  terlalu  repot  mempersiapkan  dan  mengatur  adegan-adegan  yang membutuhkan lebih banyak efek dan persiapan. Sama pula dalam naskah drama ini yang dibawakan dengan alur maju sehingga membuat drama ini mudah untudipentaskan. Terlihat dalam drama ini cerita tidak dibawakan dengan rumit.
Hal ini terbukti dari dialog-dialog yang lebih diperbanyak dari pada adegan fisik karena pengarang berupaya ingin menyampaikan kritik-kritik terhadap para sastrawan yang dianggap sebagai penghianat yang menciptakan sebuah karya bukan karena berasal dari perasaan sendiri tapi dituntut oleh keadaan pada saat itu yang memaksa mereka untuk patuh pada aturan yang ditetapkan oleh penguasa pada saat itu sehingga menghasilkan sebuah karya yang menguntungkan pihak penguasa dan juga diri sendiri. Padahal bagi seorang seniman keuntungan terbesar yang ingin didapatkan hanyalah kepuasan akan mengungkapkan perasaan yang bebas tanpa dipaksa oleh pihak lain.
2.      Tema
tema yang terdapat dalam drama ini yaitu tema kebangsaan yang mencerminkan keadaan pada saat itu yaitu sekitar zaman penjajahan di mana ada segelintir manusia yang menjadi penghianat bangsa yang tega menghianati bangsasendiri hanya untuk mendapatkan keuntungan untuk dirinya sendiri.
3.      Latar  
latar tempat di mana para tokoh melakukan dialog maupun adegandalam cerita. Dalam drama ini menggunakan latar di suatu tempat yang menjadilokasi pertemuan si X dan si Y yang adalah tokoh dalam drama ini. Tidak dapatdiketahui dengan pasti di mana latar dalam drama ini, bisa di rumah salah satu tokoh ataupun di sebuah restoran.

4.      Tokoh dan perwatakan
Dalam drama ini tokoh terdiri dari 2 orang yang namanya tidak diketahui yakni, X dan Y. Dalam dramaini si X dan si Y sama-sama adalah seorang seniman. Namun dalam drama ini si Xadalah seniman penghianat yang tega menjual harga dirinya sebagai seniman yangbebas kepada pemerintah demi mendapatkan uang dan segala kenikmatan yang diingini. Sedangkan si Y adalah seorang seniman yang memiliki ciri-ciri sebagai seorang seniman sejati yang tidak memperjualkan kemampuannya untuk kepentingan pihak lain, dia ingin supaya seorang seniman memiliki kebebasan dalam menyalurkan segala bentuk inspirasinya untuk kepentingan semua pihak bukan untuk kepentingan salah satu pihak saja seperti yang dilakukan oleh si X.
5.      Amanat
amanat yang terdapat dalam drama, yakni memiliki amanat yang ingin disampaikan kepada para semua bangsa pada umumnya dan kepada seniman pada khususnya yaitu agar sebagai suatu bangsa kita harus mencintai dan setia kepada bangsa dan Negara di mana kita berada, bukan malah menjadi seorang penghianat yang rela melakukan apa saja demi kepentingan pribadi walaupun bangsa dan Negara harus dikorbankan.
Unsur ekstrinsik
\ Pertama, para pengarangnya yang  itu hidup di zaman revolusi, hal ini secara otomatis membuat karya-karya yang mereka hasilkan merupakan potret-potret yang mereka lihat pada zaman tersebut, selain itu para sastrawan angkatan ’45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar